assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh
apa kabar sahabat cerdas??...
kali ini saya akan menyajikan kepada sahabat cerdas sebuah tulisan yang berjudul:
Tersebutlah kisah tiga orang sahabat, Kendi, Buyung dan Awang yang sedang mengembara. Mereka membawa bekalan makanan seperti beras, daging, susu dan buah-buahan. Apabila penat berjalan mereka berhenti dan memasak makanan. Jika bertemu kampung, mereka akan singgah membeli makanan untuk dibuat bekal dalam perjalanan.
Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qurâ'an pagi dan petang. Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu.
Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit sebagai ternyata dari contoh yang di bawah ini :
01. HIKAYAT SI MISKIN
Karena sumpah Batara Indera, seorang raja
keinderaan beserta permaisurinya bibuang dari keinderaan sehingga sengsara
hidupnya. Itulah sebabnya kemudian ia dikenal sebagai si Miskin.
Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya
seperti dimamah anjing itu berjalan mencari rezeki berkeliling di Negeri Antah
Berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera Dewa. Ke mana mereka pergi
selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-ramai dengan disertai penganiayaan
sehingga bengkak-bengkak dan berdarah-darah tubuhnya. Sepanjang perjalanan
menangislah si Miskin berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu malam
tidur di hutan, siangnya berjalan mencari rezeki. Demikian seterusnya.
Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia
menginginkan makan mangga yang ada di taman raja. Si Miskin menyatakan
keberatannya untuk menuruti keinginan isterinya itu, tetapi istri itu makin
menjadi-jadi menangisnya. Maka berkatalah si Miskin, “Diamlah. Tuan jangan
menangis. Biar Kakanda pergi mencari buah mempelam itu. Jikalau dapat, Kakanda
berikan kepada tuan.”
Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa
mempelam dan makanan-makanan yang lain. Setelah ditolak oleh isterinya, dengan
hati yang sebal dan penuh ketakutan, pergilah si Miskin menghadap raja memohon
mempelam. Setelah diperolehnya setangkai mangga, pulanglah ia segera. Isterinya
menyambut dengan tertawa-tawa dan terus dimakannya mangga itu.
Setelah genap bulannya kandunga itu, lahirlah
anaknya yang pertama laki-laki bernama Marakarmah (=anak di dalam kesukaran)
dan diasuhnya dengan penuh kasih saying.
Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat
teratak sebagai tempat tinggal, didapatnya sebuah tajau yang penuh berisi emas
yang tidak akan habis untuk berbelanja sampai kepada anak cucunya. Dengan
takdir Allah terdirilah di situ sebuah kerajaan yang komplet perlengkapannya.
Si Miskin lalu berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan
Puteri Ratna Dewi. Negerinya diberi nama Puspa Sari. Tidak lama kemudian,
lahirlah anaknya yang kedua, perempuan, bernama Nila Kesuma.
Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan
pemurah sehingga memasyurkan kerajaan Puspa Sari dan menjadikan iri hati bagi
Maharaja Indera Dewa di negeri Antah Berantah.
Ketika Maharaja Indera Angkasa akan mengetahui
pertunangan putra-putrinya, dicarinya ahli-ahli nujum dari Negeri Antah
Berantah.
Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah,
oleh para ahli nujum itu dikatakan bahwa Marakarmah dan Nila Kesuma itu kelak
hanyalah akan mendatangkan celaka saja bagi orangtuanya.
Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan
hati Maharaja Indera Angkasa. Maka, dengan hati yang berat dan amat terharu
disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya itu.
Tidak lama kemudian sepeninggal putra-putrinya
itu, Negeri Puspa Sari musnah terbakar.
Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila
Kesuma berlindung di bawah pohon beringin. Ditangkapnya seekor burung untuk
dimakan. Waktu mencari api ke kampung, karena disangka mencuri, Marakarmah
dipukuli orang banyak, kemudian dilemparkan ke laut. Nila Kesuma ditemu oleh
Raja Mengindera Sari, putera mahkota dari Palinggam Cahaya, yang pada akhirnya
menjadi isteri putera mahkota itu dan bernama Mayang Mengurai.
Akan nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia
hanyut dan akhirnya terdampar di pangkalan raksasa yang menawan Cahaya Chairani
(anak raja Cina) yang setelah gemuk akan dimakan. Waktu Cahaya Chairani
berjalan –jalan di tepi pantai, dijumpainya Marakarmah dalam keadaan terikat
tubuhnya. Dilepaskan tali-tali dan diajaknya pulang. Marakarmah dan Cahaya
Chairani berusaha lari dari tempat raksasa dengan menumpang sebuah kapal.
Timbul birahi nahkoda kapal itu kepada Cahaya Chairani, maka didorongnya
Marakarmah ke laut, yang seterusnya ditelan oleh ikan nun yang membuntuti kapal
itu menuju ke Palinggam Cahaya. Kemudian, ikan nun terdampar di dekat rumah
Nenek Kebayan yang kemudian terus membelah perut ikan nun itu dengan daun padi
karena mendapat petunjuk dari burung Rajawali, sampai Marakarmah dapat keluar
dengan tak bercela.
Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek
Kebayan yang kehidupannya berjual bunga. Marakarmah selalu menolak menggubah
bunga. Alasannya, gubahan bunga Marakarmah dikenal oleh Cahaya Chairani, yang
menjadi sebab dapat bertemu kembali antara suami-isteri itu.
Karena cerita Nenek Kebayan mengenai putera
Raja Mangindera Sari menemukan seorang puteri di bawah pohon beringin yang
sedang menangkap burung, tahulah Marakarmah bahwa puteri tersebut adiknya
sendiri, maka ditemuinyalah. Nahkoda kapal yang jahat itu dibunuhnya.
Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah bundanya
yang telah jatuh miskin kembali. Dengan kesaktiannya diciptakannya kembali
Kerajaan Puspa Sari dengan segala perlengkapannya seperti dahulu kala.
Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh
Marakarmah, yang kemudian dirajai oleh Raja Bujangga Indera (saudara Cahaya
Chairani).
Akhirnya, Marakarmah pergi ke negeri mertuanya
yang bernama Maharaja Malai Kisna di Mercu Indera dan menggantikan mertuanya
itu menjadi Sultan Mangindera Sari menjadi raja di Palinggam Cahaya. (Sumber:Peristiwa
Sastra Melayu Lama)
02. HIKAYAT AMIR
Dahulu kala di Sumatra, hiduplah seorang
saudagar yang bernama Syah Alam. Syah Alam mempunyai seorang anak bernama Amir.
Amir tidak uangnya dengan baik. Setiap hari dia membelanjakan uang yang diberi
ayahnya. Karena sayangnya pada Amir, Syah Alam tidak pernah memarahinya. Syah
Alam hanya bisa mengelus dada.
Lama-kelamaan Syah Alam jatuh sakit. Semakin
hari sakitnya semakin parah. Banyak uang yang dikeluarkan untuk pengobatan,
tetapi tidak kunjung sembuh. Akhirnya mereka jatuh miskin.
Penyakit Syah Alam semakin parah. Sebelum
meninggal, Syah Alam berkata”Amir, Ayah tidak bisa memberikan apa-apa lagi
padamu. Engkau harus bisa membangun usaha lagi seperti Ayah dulu. Jangan kau
gunakan waktumu sia-sia. Bekerjalah yang giat, pergi dari rumah.Usahakan engkau
terlihat oleh bulan, jangan terlihat oleh matahari.”
”Ya, Ayah. Aku akan turuti
nasihatmu.”
Sesaat setelah Syah Amir meninggal, ibu Amir
juga sakit parah dan akhirnya meninggal. Sejak itu Amir bertekad untuk mencari
pekerjaan. Ia teringat nasihat ayahnya agar tidak terlihat matahari, tetapi
terlihat bulan. Oleh sebab itu, kemana-mana ia selalu memakai payung.
Pada suatu hari, Amir bertmu dengan Nasrudin,
seorang menteri yang pandai. Nasarudin sangat heran dengan pemuda yang selalu
memakai payung itu. Nasarudin bertanya kenapa dia berbuat demikian.
Amir bercerita alasannya berbuat demikian.
Nasarudin tertawa. Nasarudin berujar, ” Begini, ya., Amir. Bukan begitu maksud
pesan ayahmu dulu. Akan tetapi, pergilah sebelum matahari terbit dan pulanglah
sebelum malam. Jadi, tidak mengapa engkau terkena sinar matahari. ”
Setelah memberi nasihat, Nasarudin pun memberi
pijaman uang kepada Amir. Amir disuruhnya berdagang sebagaimana dilakukan
ayahnya dulu.
3
Amir lalu berjualan makanan dan minuman. Ia
berjualan siang dan malam.Pada siang hari, Amir menjajakan makanan, seperti
nasi kapau, lemang, dan es limau. Malam harinya ia berjualan martabak,
sekoteng, dan nasi goreng. Lama-kelamaan usaha Amir semakin maju. Sejak it,
Amir menjadi saudagar kaya.
03. HIKAYAT BURUNG CENDERAWASIH
Sahibul hikayat telah diriwayatkan dalam Kitab
Tajul Muluk, mengisahkan seekor burung yang bergelar burung cenderawasih.
Adapun asal usulnya bermula dari kayangan. Menurut kebanyakan orang lama yang
arif mengatakan ianya berasal dari syurga dan selalu berdamping dengan para
wali. Memiliki kepala seperti kuning keemasan. Dengan empat sayap yang tiada
taranya. Akan kelihatan sangat jelas sekiranya bersayap penuh adanya. Sesuatu
yang sangat nyata perbezaannya adalah dua antena atau ekor ‘areil‘ yang panjang
di ekor belakang. Barangsiapa yang melihatnya pastilah terpegun dan takjub akan
keindahan dan kepelikan burung cenderawasih.
Amatlah jarang sekali orang memiliki burung
cenderawasih. Ini kerana burung ini bukanlah berasal dari bumi ini. Umum
mengetahui bahawa burung Cenderawasih ini hanya dimiliki oleh kaum kerabat
istana saja. Hatta mengikut sejarah, kebanyakan kerabat-kerabat istana Melayu
mempunyai burung cenderawasih. Mayoritas para peniaga yang ditemui mengatakan
ia membawa tuah yang hebat.
Syahdan dinyatakan lagi dalam
beberapa kitab Melayu lama, sekiranya burung cenderawasih turun ke bumi nescaya
akan berakhirlah hayatnya. Dalam kata lain burung cenderawasih akan mati
sekiranya menjejak kaki ke bumi. Namun yang pelik lagi ajaibnya, burung
cenderawasih ini tidak lenyap seperti bangkai binatang yang lain. Ini kerana ia
dikatakan hanya makan embun syurga sebagai makanannya. Malahan ia mengeluarkan
bau atau wangian yang sukar untuk diperkatakan. Burung cenderawasih mati dalam
pelbagai keadaan. Ada yang mati dalam keadaan terbang, ada yang mati dalam
keadaan istirahat dan ada yang mati dalam keadaan tidur.
Walau bagaimanapun, Melayu Antique telah
menjalankan kajian secara rapi untuk menerima hakikat sebenar mengenai BURUNG
CENDERAWASIH ini. Mengikut kajian ilmu pengetahuan yang dijalankan, burung ini
lebih terkenal di kalangan penduduk nusantara dengan panggilan Burung Cenderawasih.
Bagi kalangan masyarakat China pula, burung ini dipanggil sebagai Burung
Phoenix yang banyak dikaitkan dengan kalangan kerabat istana Maharaja China.
Bagi kalangan penduduk Eropah, burung ini lebih terkenal dengan panggilan ‘Bird
of Paradise‘. Secara faktanya, asal usul burung ini gagal ditemui atau
didapathingga sekarang. Tiada bukti yang menunjukkan ianya berasal dari alam
nyata ini. Namun satu lagi fakta yang perlu diterima, burung cenderawasih turun
ke bumi hanya di IRIAN JAYA (Papua sekarang), Indonesia saja. Tetapi yang pelik
namun satu kebenaran burung ini hanya turun seekor saja dalam waktu tujuh
tahun. Dan ia turun untuk mati. Sesiapa yang menjumpainya adalah satu tuah.
Oleh itu, kebanyakan burung cenderawasih yang anda saksikan mungkin berumur
lebih dari 10 tahun, 100 tahun atau sebagainya. Kebanyakkannya sudah beberapa
generasi yang mewarisi burung ini.
Telah dinyatakan dalam kitab Tajul Muluk bahawa
burung cenderawasih mempunyai pelbagai kelebihan. Seluruh badannya daripada
dalam isi perut sehinggalah bulunya mempunyai khasiat yang misteri.
Kebanyakannya digunakan untuk perubatan. Namun ramai yang memburunya kerana
‘tuahnya’. Burung cenderawasih digunakan sebagai ‘pelaris’. Baik untuk pelaris
diri atau perniagaan. Sekiranya seseorang memiliki bulu burung cenderawasih
sahaja pun sudah cukup untuk dijadikan sebagai pelaris. Mengikut ramai orang
yang ditemui memakainya sebagai pelaris menyatakan, bulu burung cenderawasih
ini merupakan pelaris yang paling besar. Hanya orang yang memilikinya yang tahu
akan kelebihannya ini. Namun yang pasti burung cenderawasih bukannya
calang-calang burung. Penuh dengan keunikan, misteri, ajaib, tuah.
Tersebutlah kisah tiga orang sahabat, Kendi, Buyung dan Awang yang sedang mengembara. Mereka membawa bekalan makanan seperti beras, daging, susu dan buah-buahan. Apabila penat berjalan mereka berhenti dan memasak makanan. Jika bertemu kampung, mereka akan singgah membeli makanan untuk dibuat bekal dalam perjalanan.
Pada suatu hari, mereka tiba di kawasan hutan
tebal. Di kawasan itu mereka tidak bertemu dusun atau kampung. Mereka berhenti
dan berehat di bawah sebatang pokok ara yang rendang. Bekalan makanan pula
telah habis. Ketiga-tiga sahabat ini berasa sangat lapar,
“Hai, kalau ada nasi sekawah, aku akan habiskan
seorang,” tiba-tiba Kendi mengeluh. Dia mengurut-ngurut perutnya yang lapar.
Badannya disandarkan ke perdu pokok ara.
“Kalau lapar begini, ayam panggang sepuluh ekor
pun sanggup aku habiskan,” kata Buyung pula.
“Janganlah kamu berdua tamak sangat dan bercakap
besar pula. Aku pun lapar juga. Bagi aku, kalau ada nasi sepinggan sudah
cukup,” Awang bersuara.
Kendi dan Buyung tertawa mendengar kata-kata
Awang.
“Dengan nasi sepinggan, mana boleh kenyang?
Perut kita tersangatlah lapar!” ejek Kendi. Buyung mengangguk tanda bersetuju
dengan pendapat Kendi.
Perbualan mereka didengar oleh pokok ara. Pokok
itu bersimpati apabila mendengar keluhan ketiga-tiga pengembara tersebut lalu
menggugurkan tiga helai daun.
Bubb! Kendi, Buyung dan Awang terdengar bunyi
seperti benda terjatuh. Mereka segera mencari benda tersebut dicelah-celah
semak. Masing-masing menuju ke arah yang berlainan.
“Eh,ada nasi sekawah!” Kendi menjerit
kehairanan. Dia menghadap sekawah nasi yang masih berwap. Tanpa berfikir
panjang lalu dia menyuap nasi itu dengan lahapnya.
“Ayam panggang sepuluh ekor! Wah, sedapnya!”
tiba-tiba Buyung pula melaung dari arah timur. Serta-merta meleleh air liurnya.
Seleranya terbuka. Dengan pantas dia mengambil ayam yang paling besar lalu
makan dengan gelojoh.
Melihatkan Kendi dan Buyung telah mendapat
makanan, Awang semakin pantas meredah semak. Ketika Awang menyelak daun
kelembak, dia ternampak sepinggan nasi berlauk yang terhidang. Awang tersenyum
dan mengucapkan syukur kerana mendapat rezeki. Dia makan dengan tenang.
Selepas makan, Awang rasa segar. Dia berehat
semula di bawah pokok ara sambil memerhatikan Kendi dan Buyung yang sedang
meratah makanannya.
“Urgh!” Kendi sendawa. Perutnya amat kenyang.
Nasi di dalam kawah masih banyak. Dia tidak mampu menghabiskan nasi itu.
“Kenapa kamu tidak habiskan kami?” tiba-tiba nasi di dalam kawah itu bertanya
kepada Kendi.
“Aku sudah kenyang,” jawab Kendi.
“Bukankah kamu telah berjanji akan menghabiskan
kami sekawah?” Tanya nasi itu lagi.
“Tapi perut aku sudah kenyang,” jawab Kendi.
Tiba-tiba nasi itu berkumpul dan mengejar Kendi.
Kawah itu menyerkup kepala Kendi dan nasi-nasi itu menggigit tubuh Kendi. Kendi
menjerit meminta tolong.
Buyung juga kekenyangan. Dia cuma dapat
menghabiskan seekor ayam sahaja. Sembilan ekor ayam lagi terbiar di tempat
pemanggang. Oleh kerana terlalu banyak makan, tekaknya berasa loya. Melihat
baki ayam-ayam panggang itu, dia berasa muak dan hendak muntah. Buyung segera
mencampakkan ayam-ayam itu ke dalam semak.
“Kenapa kamu tidak habiskan kami?” tiba-tiba
tanya ayam-ayam panggang itu.
“Aku sudah kenyang,” kata Buyung. “Makan sekor
pun perut aku sudah muak,” katanya lagi.
Tiba-tiba muncul sembilan ekor ayam jantan dari
celah-celah semak di kawasan itu. Mereka meluru ke arah Buyung.
Ayam-ayam itu mematuk dan menggeletek tubuh
Buyung. Buyung melompat-lompat sambil meminta tolong.
Awang bagaikan bermimpi melihat gelagat
rakan-rakannya. Kendi terpekik dan terlolong. Buyung pula melompat-lompat dan
berguling-guling di atas tanah. Awang tidak dapat berbuat apa-apa. Dia seperti
terpukau melihat kejadian itu.
Akhirnya Kendi dan Buyung mati. Tinggallah Awang
seorang diri. Dia meneruskan semula perjalanannya.
Sebelum berangkat, Awang mengambil pinggan nasi
yang telah bersih. Sebutir nasi pun tidak berbaki di dalam pinggan itu.
“Pinggan ini akan mengingatkan aku supaya jangan
sombong dan tamak. Makan biarlah berpada-pada dan tidak membazir,” kata Awang
lalu beredar meninggalkan tempat itu.
05. HIKAYAT ABU NAWAS: PESAN BAGI HAKIM
Tersebutlah perkataan Abu Nawas dengan bapanya
diam di negeri Baghdad. Adapun Abu Nawas itu sangat cerdik dan terlebih bijak
daripada orang banyak. Bapanya seorang Kadi. Sekali peristiwa, bapanya itu
sakit dan hampir mati. Ia meminta Abu Nawas mencium telinganya. Telinga sebelah
kanannya sangat harum baunya, sedangkan telinga kiri sangat busuk . Bapanya
menerangkan bahwa semasa membicarakan perkara dua orang, dia pernah mendengar
aduan seorang dan tiada mendengar adua yang lain. Itulah sebabnya sebelah
telinga menjadi busuk. Ditambahnya juga kalau anaknya tiada mau menjadi kadi,
dia harus mencari helah melepaskan diri. Hatta bapa Abu Nawas pun berpulanglah
dan Sultan Harun Ar-rasyid mencari Abu Nawas untuk menggantikan bapanya. Maka
Abu Nawas pun membuat gila dan tidak tentu kelakuannya. Pada suatu hati, Abu
Nawas berkata kepada seorang yang dekatnya, ”Hai, gembala kuda, pergilah engkau
memberi makan rumput kuda itu.” Maka si polan itu pergi menghadap sultan dan
meminta dijadikan kadi.
Permintaan dikabulkan dan si polan itu tetap
menjadi kadi dalam negeri. Akan Abu Nawas itu, pekerjaannya tiap hari ialah
mengajar kitab pada orang negeri itu. Pada suatu malam, seorang anak Mesir yang
berdagang dalam negeri Baghdad bermimpi menikah dengan anak perempuan kadi yang
baru itu. Tatkala kadi itu mendengar mimpi anak Mesir itu, ia meminta anak
Mesir itu membayar maharnya. Ketika anak Mesir itu menolak, segala hartanya
dirampas dan ia mengadukan halnya kepada Abu Nawas. Abu Nawas lalu menyuruh
murid-muridnya memecahkan rumah kadi itu. Tatkala dihadapkan ke depan Sultan,
Abu Nawas berkata bahwa dia bermimpi kadi itu menyuruhnya berbuat begitu. Dan
memakai mimpi sebagai hukum itu sebenarnya adalah hokum kadi itu sendiri.
Dengan demikian terbukalah perbuatan kadi yang zalim itu. Kadi itu lalu dihukum
oleh Sultan. Kemudian anak Mesir itu pun diamlah di dalam negeri itu. Telah
sampai musim, ia pun kembali ke negerinya.
Seorang kadi mempunyai seorang anak bernama
Abu Nawas menjelang kematiannya ia memanggil anak-anaknya dan disuruh mencium
telinganya. Jika telinga kanan harum baunya, itu pertanda akan baik. Akan
tetapi jika yang harum telinga kiri, berarti bahwa sepeninggalnya akan terjadi
hal-hal yang tidak baik. Ternyata yang harum yang kiri.
Sesudah ayahnya meninggal, Abu Nawas pura-pura
menjadi gila, sehingga ia tidak diangkat menggantikan ayahnya sebagai kadi.
Yang diangkat menggantikannya ialah Lukman. Seorang pedagang Mesir bermimpi
sebagai berikut: anak perempuan kadi baru kawin gelap, akan tetapi tanpa emas
kawin sama sekali kecuali berupa lelucon-lelucon, sehingga diusir bersama-sama
suaminya oleh ayahnya, lalu mengembara ke Mesir, dan dengan demikian kehormatan
kadi baru itu pulih kembali.
06. HIKAYAT PATANI
Inilah suatu
kisah yang diceritakan oleh orang tua-tua, asal raja yang berbuat negeri Patani
Darussalam itu. Adapun raja di Kota Maligai itu namanya Paya Tu Kerub Mahajana.
Maka Paya Tu Kerub Mahajana pun beranak seorang laki-laki, maka dinamai
anakanda baginda itu Paya Tu Antara. Hatta berapa lamanya maka Paya Tu Kerub
Mahajana pun matilah. Syahdan maka Paya Tu Antara pun kerajaanlah menggantikan
ayahanda baginda itu. Ia menamai dirinya Paya Tu Naqpa. Selama Paya Tu Naqpa
kerajaan itu sentiasa ia pergi berburu.
Pada suatu hari Paya Tu Naqpa pun duduk diatas
takhta kerajaannya dihadap oleh segala menteri pegawai hulubalang dan rakyat
sekalian. Arkian maka titah baginda: "Aku dengar khabarnya perburuan
sebelah tepi laut itu terlalu banyak konon." Maka sembah segala menteri:
"Daulat Tuanku, sungguhlah seperti titah Duli Yang Mahamulia itu, patik
dengar pun demikian juga." Maka titah Paya Tu Naqpa: "Jikalau
demikian kerahkanlah segala rakyat kita. Esok hari kita hendak pergi berburu ke
tepi laut itu." Maka sembah segala menteri hulubalangnya: "Daulat
Tuanku, mana titah Duli Yang Mahamulia patik junjung." Arkian setelah
datanglah pada keesokan harinya, maka baginda pun berangkatlah dengan segala
menteri hulubalangnya diiringkan oleh rakyat sekalian. Setelah sampai pada
tempat berburu itu, maka sekalian rakyat pun berhentilah dan kemah pun
didirikan oranglah. Maka baginda pun turunlah dari atas gajahnya semayam
didalam kemah dihadap oleh segala menteri hulubalang rakyat sekalian. Maka
baginda pun menitahkan orang pergi melihat bekas rusa itu. Hatta setelah orang
itu datang menghadap baginda maka sembahnya: "Daulat Tuanku, pada hutan
sebelah tepi laut ini terlalu banyak bekasnya." Maka titah baginda:
"Baiklah esok pagi-pagi kita berburu"
Maka setelah
keesokan harinya maka jaring dan jerat pun ditahan oranglah. Maka segala rakyat
pun masuklah ke dalam hutan itu mengalan-alan segala perburuan itu dari
pagi-pagi hingga datang mengelincir matahari, seekor perburuan tiada diperoleh.
Maka baginda pun amat hairanlah serta menitahkan menyuruh melepaskan anjing
perburuan baginda sendiri itu. Maka anjing itu pun dilepaskan oranglah. Hatta
ada sekira-kira dua jam lamanya maka berbunyilah suara anjing itu menyalak.
Maka baginda pun segera mendapatkan suara anjing itu. Setelah baginda datang
kepada suatu serokan tasik itu, maka baginda pun bertemulah dengan segala orang
yang menurut anjing itu. Maka titah baginda: "Apa yang disalak oleh anjing
itu?" Maka sembah mereka sekalian itu: "Daulat Tuanku, patik mohonkan
ampun dan karunia. Ada seekor pelanduk putih, besarnya seperti kambing, warna
tubuhnya gilang gemilang. Itulah yang dihambat oleh anjing itu. Maka pelanduk
itu pun lenyaplah pada pantai ini."
Setelah baginda
mendengar sembah orang itu, maka baginda pun berangkat berjalan kepada tempat
itu. Maka baginda pun bertemu dengan sebuah rumah orang tua laki-bini duduk
merawa dan menjerat. Maka titah baginda suruh bertanya kepada orang tua itu,
dari mana datangnya maka ia duduk kemari ini dan orang mana asalnya. Maka hamba
raja itu pun menjunjungkan titah baginda kepada orang tua itu. Maka sembah
orang tua itu: "Daulat Tuanku, adapun patik ini hamba juga pada kebawah
Duli Yang Mahamulia, karena asal patik ini duduk di Kota Maligai. Maka pada
masa Paduka Nenda berangkat pergi berbuat negeri ke Ayutia, maka patik pun
dikerah orang pergi mengiringkan Duli Paduka Nenda berangkat itu. Setelah
Paduka Nenda sampai kepada tempat ini, maka patik pun kedatangan penyakit, maka
patik pun ditinggalkan oranglah pada tempat ini." Maka titah baginda:
"Apa nama engkau?". Maka sembah orang tua itu: "Nama patik Encik
Tani." Setelah sudah baginda mendengar sembah orang tua itu, maka baginda
pun kembalilah pada kemahnya.Dan pada malam itu baginda pun berbicara dengan
segala menteri hulubalangnya hendak berbuat negeri pada tempat pelanduk putih
itu.
Setelah keesokan
harinya maka segala menteri hulubalang pun menyuruh orang mudik ke Kota Maligai
dan ke Lancang mengerahkan segala rakyat hilir berbuat negeri itu. Setelah
sudah segala menteri hulubalang dititahkah oleh baginda masingmasing dengan
ketumbukannya, maka baginda pun berangkat kembali ke Kota Maligai. Hatta antara
dua bulan lamanya, maka negeri itu pun sudahlah. Maka baginda pun pindah hilir
duduk pada negeri yang diperbuat itu, dan negeri itu pun dinamakannya Patani
Darussalam (negeri yang sejahtera). Arkian pangkalan yang di tempat pelanduk
putih lenyap itu (dan pangkalannya itu) pada Pintu Gajah ke hulu Jambatan Kedi,
(itulah. Dan) pangkalan itulah tempat Encik Tani naik turun merawa dan menjerat
itu. Syahdan kebanyakan kata orang nama negeri itu mengikut nama orang yang
merawa itulah. Bahwa sesungguhnya nama negeri itu mengikut sembah orang
mengatakan pelanduk lenyap itu. Demikianlah hikayatnya.
07. HIKAYAT SEORANG KAKEK DAN SEEKOR ULAR
Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qurâ'an pagi dan petang. Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu.
Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya
sembari menghisap rokok dengan nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan
kanannya memegang tasbih yang senantiasa berputar setiap waktu di tangannya.
Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya, ular
itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang (kemudian
datang menyusulnya) membawa tongkat.
"Kek," panggil ular itu benar-benar
memelas, "kakek kan terkenal suka menolong. Tolonglah saya, selamatkanlah
saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar saya itu. Ia pasti
membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali jika
mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi
Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini."
"Ulangi sumpahmu sekali lagi," pinta
si kakek. "Takutnya, setelah mulutku kubuka, kamu masuk ke dalamnya dan
selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah selamat,
jangan-jangan kamu malah mencelakai saya."
Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa
ia takkan melakukan itu sekali lagi. Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun
membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk ular itu masuk.
Sejurus kemudian, datanglah seorang pria
dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan keberadaan ular yang hendak dibunuhnya
itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang ditanyakannya dan tak tahu di
mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang dicarinya, pria itu pun
pergi.
Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu
berbicara kepada ular: "Kini, kamu aman. Keluarlah dari mulutku, agar aku
dapat pergi sekarang."
Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit,
lalu berujar: "Hmm, kamu mengira sudah mengenal lingkunganmu dengan baik,
bisa membedakan mana orang jahat dan mana orang baik, mana yang berbahaya
bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak
bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati."
"Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk
ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada
kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana;
mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu
sekarat." Kontan ular itu mengancam.
"La haula wa la quwwata illa billahi
al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha
Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi
sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah Yang Esa
sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik." Sejurus kemudian
kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga
sebelumnya, perbuatan baiknya berbuah penyesalan.
Kakek itu akhirnya kembali bersuara,
"Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa pada sambutanku yang
bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku pergi ke suatu
tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin
mati di sana supaya jauh dari keluargaku."
Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di
dalam hatinya, orang tua itu berharap, "Oh, andai Tuhan mengirim orang
pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan menyelamatkanku."
Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon
yang dituju, ia berujar pada sang ular: "Sekarang, silakan lakukanlah
keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti yang kamu
inginkan."
Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang
mengalun merdu tertuju padanya:
"Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa membantumu."
"Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa membantumu."
Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika
keluar dari mulutnya ular itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah
kakek itu dari bahaya musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan
main sehingga berujar, "Suara siapakah yang tadi saya dengar sehingga saya
dapat selamat?"
Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang
penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar,
"Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha Hidup dan Maha
Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu."
Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya."
Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya."
Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:
"Waspadalah terhadap setiap fitnah dan
dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti dapat mengganggumu. Orang jahat
tidak akan pernah menang karena prilakunya yang jahat."
Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.
Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.
Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku
sudah mulai berubah. Satu persatu nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman
dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku mulai menenggelamkan diri dalam lautan
maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku menjadi suka
menghambur-hamburkan uang.
Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu.
Mereka iri melihat hartaku yang begitu banyak. Mengingat mereka tidak tahu
sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku kepada kepala kampung. Kepala
kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal kekayaanku. Dia juga
memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak,
tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya menebar
ancaman.
Setelah membayar begitu banyak sehingga yang
tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu kali bayaranku berkurang dari
biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk mencambukku. Kemudian ia
menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya mendekam di penjara
ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan kecuali
saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit
begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan
memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya.
Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar
tanpa budi baik dari Baginda Rasyid, Baginda yang agung dan menghukum dengan
penuh pertimbangan.
Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar
ceritanya. Khalifah pun memerintahkan agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit
uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan kehinaan yang dialaminya.
Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-satunya Dzat yang
disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia, selama
matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau.
Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka.
Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka.
Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak
di pinggir sungai Tigris. Di istana telah menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu
menceritakan apa yang sudah dilakukannya, Zubaidah pun senang mendengarnya. Ia
mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah karena telah berbuat baik.
Zubaidah juga mendoakan agar Khalifah panjang umur.
08. PERKARA SI BUNGKUK DAN SI PANJANG
Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit sebagai ternyata dari contoh yang di bawah ini :
Hatta maka berapa lamanya Masyhudulhakk pun
besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada
suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu
sungai. Maka dicaharinya perahu hendak menyeberang, tiada dapat perahu itu.
Maka ditantinya 1) kalau-kalau ada orang lalu berperahu. Itu pun tiada juga ada
lalu perahu orang. Maka ia pun berhentilah di tebing sungai itu dengan
istrinya. Sebermula adapun istri orang itu terlalu baik parasnya. Syahdan maka
akan suami perempuan itu sudah tua, lagi bungkuk belakangnya. Maka pada sangka
orang tua itu, air sungai itu dalam juga. Katanya, "Apa upayaku hendak
menyeberang sungai ini?"
Maka ada pula seorang Bedawi duduk di seberang
sana sungai itu. Maka kata orang itu, "Hai tuan hamba, seberangkan apalah
kiranya hamba kedua ini, karena hamba tiada dapat berenang; sungai ini tidak
hamba tahu dalam dangkalnya." Setelah didengar oleh Bedawi kata orang tua
bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi
itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya, "Untunglah sekali
ini!"
Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai
itu merendahkan dirinya, hingga lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang
bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang tua itu, "Tuan hamba seberangkan
apalah 2) hamba kedua ini. Maka kata Bedawi itu, "Sebagaimana 3) hamba
hendak bawa tuan hamba kedua ini? Melainkan seorang juga dahulu maka boleh,
karena air ini dalam."
Maka kata orang tua itu kepada istrinya,
"Pergilah diri dahulu." Setelah itu maka turunlah perempuan itu ke
dalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka kata Bedawi itu,
"Berilah barang-barang bekal-bekal tuan hamba dahulu, hamba
seberangkan." Maka diberi oleh perempuan itu segala bekal-bekal itu.
Setelah sudah maka dibawanyalah perempuan itu diseberangkan oleh Bedawi itu.
Syahdan maka pura-pura diperdalamnya air itu, supaya dikata 4) oleh si Bungkuk
air itu dalam. Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi
itu kepada perempuan itu, "Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan
mudanya. Mengapa maka tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga
tuan hamba buangkan orang bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit,
hamba jadikan istri hamba." Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan
itu.
Maka kata perempuan itu kepadanya,
"Baiklah, hamba turutlah kata tuan hamba itu."
Maka apabila sampailah ia ke seberang sungai
itu, maka keduanya pun mandilah, setelah sudah maka makanlah ia keduanya segala
perbekalan itu. Maka segala kelakuan itu semuanya dilihat oleh orang tua
bungkuk itu dan segala hal perempuan itu dengan Bedawi itu.
Kalakian maka heranlah orang tua itu. Setelah
sudah ia makan, maka ia pun berjalanlah keduanya. Setelah dilihat oleh orang
tua itu akan Bedawi dengan istrinya berjalan, maka ia pun berkata-kata dalam
hatinya, "Daripada hidup melihat hal yang demikian ini, baiklah aku
mati."
Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai
itu. Maka heranlah ia, karena dilihatnya sungai itu aimya tiada dalam, maka
mengarunglah ia ke seberang lalu diikutnya Bedawi itu. Dengan hal yang demikian
itu maka sampailah ia kepada dusun tempat Masyhudulhakk itu.
Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada
Masyhudulhakk. Setelah itu maka disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu.
Maka Bedawi itu pun datanglah dengan perempuan itu. Maka kata Masyhudulhakk,
"Istri siapa perempuan ini?"
Maka kata Bedawi itu, "Istri hamba
perempuan ini. Dari kecil lagi ibu hamba pinangkan; sudah besar dinikahkan
dengan hamba."
Maka kata orang tua itu, "Istri hamba, dari
kecil nikah dengan hamba."
Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka
itu. Syahdan maka gemparlah. Maka orang pun berhimpun, datang melihat hal
mereka itu ketiga. Maka bertanyalah Masyhudulhakk kepada perempuan itu,
"Berkata benarlah engkau, siapa suamimu antara dua orang laki-laki
ini?"
Maka kata perempuan celaka itu, "Si Panjang
inilah suami hamba."
Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk, "Baik
kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya berketahuan siapa salah dan siapa
benar di dalam tiga orang mereka itu.
Maka diperjauhkannyalah laki-laki itu keduanya.
Arkian maka diperiksa pula oleh Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu,
"Si Panjang itulah suami hamba."
Maka kata Masyhudulhakk, "Jika sungguh ia
suamimu siapa mentuamu laki-laki dan siapa mentuamu perempuan dan di mana
tempat duduknya?"
Maka tiada terjawab oleh perempuan celaka itu.
Maka disuruh oleh Masyhudulhakk perjauhkan. Setelah itu maka dibawa pula si
Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Berkata benarlah engkau ini.
Sungguhkah perempuan itu istrimu?"
Maka kata Bedawi itu, "Bahwa perempuan itu
telah nyatalah istri hamba; lagi pula perempuan itu sendiri sudah berikrar,
mengatakan hamba ini tentulah suaminya."
Syahdan maka Masyhudulhakk pun tertawa, seraya
berkata, “Jika sungguh istrimu perempuan ini, siapa nama mentuamu laki-laki dan
mentuamu perempuan, dan di mana kampung tempat ia duduk?"
Maka tiadalah terjawab oleh laki-laki itu. Maka
disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan laki-laki Bedawi itu. Setelah itu maka
dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Hai orang tua,
sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-benamya?"
Maka kata orang tua itu, "Daripada mula
awalnya." Kemudian maka dikatakannya, siapa mentuanya laki-laki dan
perempuan dan di mana tempat duduknya
Maka Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak
itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan kebenaran orang tua itu. Maka
hendaklah disakiti oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun
mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh
Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali.
Kemudian maka disuruhnya tobat Bedawi itu, jangan lagi ia berbuat pekerjaan
demikian itu.
Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana
Masyhudulhakk itu.
09. HIKAYAT HANG TUAH
Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang
bernama Hang Tuah, anak Hang Mahmud. Mereka bertempat tinggal di Sungai Duyung.
Pada saat itu, semua orang di Sungai Duyung mendengar kabar teng Raja Bintan
yang baik dan sopan kepada semua rakyatnya.Ketika Hang Mahmud mendengar kabar
itu, Hang Mahmud berkata kepada istrinya yang bernama Dang Merdu,”Ayo kita
pergi ke Bintan, negri yang besar itu, apalagi kita ini orang yang yang miskin.
Lebih baik kita pergi ke Bintan agar lebih mudah mencari pekerjaan.”Lalu pada malam
harinya, Hang Mahmud bermimpi bulan turun dari langit. Cahayanya penuh di atas
kepala Hang Tuah.
Hang Mahmudpun terbangun dan mengangkat anaknya
serta menciumnya. Seluruh tubuh Hang Tuah berbau seperti wangi-wangian. Siang
harinya, Hang Mahmud pun menceritakan mimpinya kepada istri dan anaknya.
Setelah mendengar kata suaminya, Dang Merdu pun langsung memandikan dan
melulurkan anaknya.Setelah itu, ia memberikan anaknya itu kain,baju, dan ikat
kepala serba putih. Lalu Dang Merdu member makan Hang Tuah nasi kunyit dan
telur ayam, ibunya juga memanggil para pemuka agama untuk mendoakan selamatan
untuk Hang Tuah. Setelah selesai dipeluknyalah anaknya itu.Lalu kata Hang
Mahmud kepada istrinya,”Adapun anak kita ini kita jaga baik-baik, jangan diberi
main jauh-jauh.”Keesokan harinya, seperti biasa Hang Tuah membelah kayu untuk
persediaan.
Lalu ada pemberontak yang datang ke tengah
pasar, banyak orang yang mati dan luka-luka. Orang-orang pemilik took
meninggalkan tokonya dan melarikan diri ke kampong. Gemparlah negri Bintan itu
dan terjadi kekacauan dimana-mana. Ada seorang yang sedang melarikan diri
berkata kepada Hang Tuah,” Hai, Hang Tuah, hendak matikah kau tidak mau masuk
ke kampung.?”Maka kata Hang Tuah sambil membelah kayu,”Negri ini memiliki
prajurit dan pegawai yang akan membunuh, ia pun akan mati olehnya.”Waktu ia
sedang berbicara ibunya melihat bahwa pemberontak itu menuju Hang Tuah samil
menghunuskan kerisnya.
Maka ibunya berteriak dari atas toko,
katanya,”Hai, anakku, cepat lari ke atas toko!”Hang Tuah mendengarkan kata
ibunya, iapun langsung bangkit berdiri dan memegang kapaknya menunggu amarah
pemberontak itu. Pemberontak itu datang ke hadapan Hang Tuah lalu menikamnya
bertubi-tubi. Maka Hang Tuah pun Melompat dan mengelak dari tikaman orang itu.
Hang Tuah lalu mengayunkan kapaknya ke kepala orang itu, lalu terbelalah kepala
orang itu dan mati. Maka kata seorang anak yang menyaksikannya,”Dia akan
menjadi perwira besar di tanah Melayu ini.”Terdengarlah berita itu oleh keempat
kawannya, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekui.
Mereka pun langsung berlari-lari mendapatkan
Hang Tuah. Hang Jebat dan Hang Kesturi bertanya kepadanya,”Apakah benar engkau
membunuh pemberontak dengan kapak?” Hang Tuah pun tersenyum dan
menjawab,”Pemberontak itu tidak pantas dibunuh dengan keris, melainkan dengan
kapak untuk kayu.”Kemudian karena kejadian itu, baginda raja sangat mensyukuri
adanya sang Hang Tuah. Jika ia tidak datang ke istana, pasti ia akan dipanggil
oleh Sang Raja. Maka Tumenggung pun berdiskusi dengan pegawai-pegawai lain yang
juga iri hati kepada Hang Tuah. Setelah diskusi itu, datanglah mereka ke
hadapan Sang Raja.
Maka saat sang Baginda sedang duduk di tahtanya
bersama para bawahannya, Tumenggung dan segala pegawai-pegawainya datang
berlutut, lalu menyembah Sang Raja, “Hormat tuanku, saya mohon ampun dan
berkat, ada banyak berita tentang penghianatan yang sampai kepada saya.
Berita-berita itu sudah lama saya dengar dari para pegawai-pegawai
saya.”Setelah Sang Baginda mendengar hal itu, maka Raja pun terkejut lalu
bertanya, “Hai kalian semua, apa saja yang telah kalian ketahui?”Maka seluruh
menteri-menteri itu menjawab, “Hormat tuanku, pegawai saya yang hina tidak
berani datang, tetapi dia yang berkuasa itulah yang melakukan hal ini.”Maka
Baginda bertitah, “Hai Tumenggung, katakan saja, kita akan membalasanya.”Maka
Tumenggung menjawab, “Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat, untuk datang
saja hamba takut, karena yang melakukan hal itu, Ra
Setelah Baginda mendengar kata-kata Tumenggung
yang sedemikian itu, maka Baginda bertitah, “Siapakah orang itu, Sang Hang Tuah
kah?”Maka Tumenggung menjawab, “Siapa lagi yang berani melakukannya selain Hang
Tuah itu. Saat pegawai-pegawai hamba memberitahukan hal ini pada hamba, hamba
sendiri juga tidak percaya, lalu hamba melihat Sang Tuah sedang berbicara
dengan seorang perempuan di istana tuan ini. Perempuan tersebut bernama Dang
Setia.
Hamba takut ia melakukan sesuatu pada perempuan
itu, maka hamba dengan dikawal datang untuk mengawasi mereka.”Setelah Baginda
mendengar hal itu, murkalah ia, sampai mukanya berwarna merah padam. Lalu ia
bertitah kepada para pegawai yang berhati jahat itu, “Pergilah, singkirkanlah
si durhaka itu!”Maka Hang Tuah pun tidak pernah terdengar lagi di dalam negri
itu, tetapi si Tuah tidak mati, karena si Tuah itu perwira besar, apalagi di
menjadi wali Allah. Kabarnya sekarang ini Hang Tuah berada di puncak dulu
Sungai Perak, di sana ia duduk menjadi raja segala Batak dan orang hutan.
Sekarang pun raja ingin bertemu dengan seseorang, lalu ditanyainya orang itu
dan ia berkata, “Tidakkah tuan ingin mempunyai istri?”Lalu jawabnya, “Saya
tidak ingin mempunyai istri lagi.”
10. HIKAYAT JAYA LENGKARA
Tersebut cerita seorang raja yang terlalu besar
kerajaannya, Saeful Muluk namanya, Ajam Saukat nama kerajaanya. Adapun raja ini
telah berkawin dengan Putri Sukanda Rum. Tetapi oleh karena permaisurinya tidak
beranak, ia berkawin dengan Putri Sukanda baying-bayang. Hatta berapa lamanya,
Puteri Sukanda bayang-bayangpun beranak anak kembar yang diberi nama Makdam dan
Makdim. Permaisuri takut kehilangan kasih sayang raja sama sekali, lalu berdoa
meminta anak. Doanya dikabulkan. Hatta berapa lamanya, ia pun beranaklah
seorang anak laki-laki yang terlalu baik rupanya. Anak itu ialah Jaya Lengkara.
Adapun semasa Jaya Langkara jadi itu, negeri pun terlalu makmur, makanan murah
dan banyak pedagang yang datang pergi. Segala ahli nujum, hulubalang dan rakyat
sekalian juga mengucap syukur kepada Alloh.
Kemudian raja menyuruh anaknya yang lain ,Makdam
dan Makdim pergi bertanyakan nasib Jaya Langkara pada seorang kadi. Kadi itu
meramalkan bahwa Jaya Langkara akan menjadi raja besar yang terlalu banyak
sakti dan segala raja-raja besar tiada yang dapat melawannya dan segala
margastua juga tunduk kepadanya dengan khidmat. Mendengar ramalan yang
demikian, Makdam dan Makdim menjadi sakit hatinya. Mereka berdusta kepada
ayahanda mereka dengan mengatakan, jikalau Jaya Langkara ada dalam negeri,
negeri akan binasa, beras padi juga akan menjadi mahal. Raja termakan fitnah ini
dan membuang Jaya Langkara dengan bundayanya dari negeri.
Naga guna menyelamatkan Jaya Langkara.
Bersama-sama mereka akan pergi ke negeri Peringgi. Jaya Langkara menewaskan
seorang ajar-ajar dan memaksanya masuk islam. Dengan bantuan raja jin yang
sudah masuk islam, ia membebaskan Makdam dan Makdim dari penjara. Ratna Kasina
dan Ratna Dewi dikawinkan dengan Makdam.Bunga Kumkuma putih juga sudah
diperolehnya.
Mangkubumi mesir coba mengambil bunga itu dari
jaya langkara dan ditewaskan. Jaya Langkara mengampuni dia, bila mendengar
sebab-sebab ia ingin mendapat kan bunga itu. Jaya Langkara pergi ke Mesir dan
memohon supaya puteri Ratna Dewi dikawinkan dengan Makdim. Permaohonan nya
diterima dengan baik oleh raja Mesir. Bersama –sama dengan Ratna Kasina, Jaya Langkara
berangkat ke negeri Ajam Saukat dan menyembuhkan penyakit raja yang tak lain
adalah ayahnya. Selang berapa lamanya, Jaya Langkara kembali ke hutan untuk
mencari bundanya.Ratna Kasina menyusul tidak lama kemudian, karena tidak tahan
di ganggu oleh Makdam dan Makdim yang sudah ke negeri Ajam Saukat. Karena
berahi mereka akan putri Ratna Kasina, Makdam dan Makdim coba membunuh Jaya
Langkara. Naga guna menyelamatkan dan membawanya bersama-sama dengan Puteri
Ratna Kasina ke negeri Madinah. Raja Madinah sangat bergembira. Jaya Langkara
dikawinkan dengan puteri Ratna Kasina. Raja Madinah sendiri juga berkawin
dengan bunda jaya langkara. Hatta berapa lamanya. Jaya Langkara pun menjadi
raja, negeri Madinah pun terlalu makmur dan besar kerajaannya. Segala raja
besar pun menghantar upeti ke madinah setiap tahun.
11. HIKAYAT SRI RAMA
Pada suatu hari, Sri Rama dan Laksamana pergi mencari Sita Dewi.
Mereka berjalan menelusuri hutan rimba belantara namun tak juga mendapat kabar
keberadaan Sita Dewi.
Saat Sri Rama dan Laksamana berjalan di dalam hutan, mereka
bertemu dengan seekor burung jantan dan empat ekor burung betina. Lalu Sri Rama
bertanya pada burung jantan tentang keberadaan Sita Dewi yang diculik orang.
Burung jantan mengatakan bahwa Sri Rama tak bisa menjaga istrinya dengan baik,
tak seperti dia yang memiliki empat istri namun bisa menjaganya. Tersinggunglah
Sri Rama mendengar perkataan burung itu. Kemudian, Sri Rama memohon pada Dewata
Mulia Raya agar memgutuk burung itu menjadi buta hingga tak dapat melihat
istri-istrinya lagi. Seketika burung itu buta atas takdir Dewata Mulia Raya.
Malam tlah berganti siang. Di tengah perjalanan, mereka bertemu
dengan seekor bangau yang sedang minum di tepi danau. Bertanyalah Sri Rama pada
bangau itu. Bangau mengatakan bahwa ia melihat bayang-bayang seorang wanita
dibawa oleh Maharaja Rawana. Sri Rama merasa senang karena mendapat petunjuk
dari cerita bangau itu. Sebagai balas budi, Sri Rama memohon pada Dewata Mulia
Raya untuk membuat leher bangau menjadi lebih panjang sesuai dengan keinginan
bangau. Namun, Sri Rama khawatir jika leher bangau terlalu panjang maka dapat
dijerat orang.
Setelah Sri Rama memohon doa, ia kembali melanjutkan perjalanan.
Tak lama kemudian datanglah seorang anak yang hendak mengail. Tetapi, anak itu
melihat bangau yang sedang minum kemudian menjerat lehernya untuk dijual ke
pasar. Sri Rama dan Laksamana bertemu dengan anak itu dan membebaskan bangau
dengan memberi anak itu sebuah cincin.
Ketika dalam perjalanan, Sri Rama merasa haus dan menyuruh
Laksamana untuk mencarikannya air. Sri Rama menyuruh Laksamana untuk mengikuti
jatunya anak panah agar dapat menemukan sumber air. Setelah berhasil
mendapatkan air itu, Laksamana membawanya pada Sri Rama. Saat Sri Rama meminum
air itu, ternyata air itu busuk. Sri Rama meminta Laksamana untuk mengantarnya
ke tempat sumber air dimana Laksamana memperolehnya. Sesampai di tempat itu,
dilihatnya air itu berlinang-linang. Sri Rama mengatakan bahwa dulu pernah ada
binatang besar yang mati di hulu sungai itu. Kemudian, Sri Rama dan Laksamana
memutuskan untuk mengikuti jalan ke hulu sungai itu.
Mereka bertemu dengan seekor burung besar bernama Jentayu yang
tertambat sayapnya dan yang sebelah rebah. Sri Rama bertanya padanya mengapa
sampai Jentayu seperti itu. Jentayu menceritakan semuanya pada Sri Rama tentang
pertarungannya melawan Maharaja Rawana. Setelah Jentayu selesai bercerita, ia
lalu memberikan cincin yang dilontarkan Sita Dewi saat Jentayu gugur ke bumi
saat berperang dengan Maharaja Rawana. Kemudian, cincin itu diambil oleh Sri
Rama. Bahagialah Sri Rama melihat cincin itu memang benar cincin istrinya, Sita
Dewi.
Jentayu berpesan pada Sri Rama jika akan pergi menyeberang ke
negeri Langka Puri, Sri Rama tidak boleh singgah ke tepi laut karena di sana
terdapat gunung bernama Gendara Wanam. Di dalam bukit tersebut ada saudara
Jentayu yang bernama Dasampani sedang bertapa. Jentayu tak ingin saudaranya itu
mengetahui bahwa dirinya akan segera mati. Setelah Jentayu selesai berpesan, ia
pun mati.
Sri Rama menyuruh Laksamana mencari tempat yang tidak
terdapat manusia dengan memberinya sebuah tongkat. Tetapi, Laksamana tidak
berhasil menemukan tempat itu. Lalu ia kembali pada Sri Rama. Laksamana
mengatakan pada Sri Rama bahwa ia tidak dapat menemukan tempat sesuai perintah
Sri Rama. Kemudian, Sri Rama menyuruh Laksamana untuk menghimpun semua kayu api
dan meletakkannya di tanagn Sri Rama. Lalu diletakkannya bangkai Jentayu di
atas kayu api itu dan di bakar oleh Laksamana. Beberapa lama kemudian, api itu
padam. Laksamana heran melihat kesaktian Sri Rama yang tangannya tidak terluka
bakar sedikitpun. Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat
itu.
12.PENGEMBARA YANG
LAPAR
Tersebutlah kisah tiga orang sahabat,
Kendi, Buyung dan Awang yang sedang mengembara. Mereka membawa bekalan makanan
seperti beras, daging, susu dan buah-buahan. Apabila penat berjalan mereka
berhenti dan memasak makanan. Jika bertemu kampung, mereka akan singgah membeli
makanan untuk dibuat bekal dalam perjalanan.
Pada suatu hari, mereka tiba di kawasan
hutan tebal. Di kawasan itu mereka tidak bertemu dusun atau kampung. Mereka
berhenti dan berehat di bawah sebatang pokok ara yang rendang. Bekalan makanan
pula telah habis. Ketiga-tiga sahabat ini berasa sangat lapar,
“Hai, kalau ada nasi sekawah, aku akan
habiskan seorang,” tiba-tiba Kendi mengeluh. Dia mengurut-ngurut perutnya yang
lapar. Badannya disandarkan ke perdu pokok ara.
“Kalau lapar begini, ayam panggang
sepuluh ekor pun sanggup aku habiskan,” kata Buyung pula.
“Janganlah kamu berdua tamak sangat dan
bercakap besar pula. Aku pun lapar juga. Bagi aku, kalau ada nasi sepinggan
sudah cukup,” Awang bersuara.
Kendi dan Buyung tertawa mendengar
kata-kata Awang.
“Dengan nasi sepinggan, mana boleh
kenyang? Perut kita tersangatlah lapar!” ejek Kendi. Buyung mengangguk tanda
bersetuju dengan pendapat Kendi.
Perbualan mereka didengar oleh pokok
ara. Pokok itu bersimpati apabila mendengar keluhan ketiga-tiga pengembara
tersebut lalu menggugurkan tiga helai daun.
Bubb! Kendi, Buyung dan Awang terdengar
bunyi seperti benda terjatuh. Mereka segera mencari benda tersebut
dicelah-celah semak. Masing-masing menuju ke arah yang berlainan.
“Eh,ada nasi sekawah!” Kendi menjerit
kehairanan. Dia menghadap sekawah nasi yang masih berwap. Tanpa berfikir
panjang lalu dia menyuap nasi itu dengan lahapnya.
“Ayam panggang sepuluh ekor! Wah,
sedapnya!” tiba-tiba Buyung pula melaung dari arah timur. Serta-merta meleleh
air liurnya. Seleranya terbuka. Dengan pantas dia mengambil ayam yang paling
besar lalu makan dengan gelojoh.
Melihatkan Kendi dan Buyung telah
mendapat makanan, Awang semakin pantas meredah semak. Ketika Awang menyelak
daun kelembak, dia ternampak sepinggan nasi berlauk yang terhidang. Awang
tersenyum dan mengucapkan syukur kerana mendapat rezeki. Dia makan dengan
tenang.
Selepas makan, Awang rasa segar. Dia
berehat semula di bawah pokok ara sambil memerhatikan Kendi dan Buyung yang
sedang meratah makanannya.
“Urgh!” Kendi sendawa. Perutnya amat
kenyang. Nasi di dalam kawah masih banyak. Dia tidak mampu menghabiskan nasi
itu. “Kenapa kamu tidak habiskan kami?” tiba-tiba nasi di dalam kawah itu
bertanya kepada Kendi.
“Aku sudah kenyang,” jawab Kendi.
“Bukankah kamu telah berjanji akan
menghabiskan kami sekawah?” Tanya nasi itu lagi.
“Tapi perut aku sudah kenyang,” jawab
Kendi.
Tiba-tiba nasi itu berkumpul dan
mengejar Kendi. Kawah itu menyerkup kepala Kendi dan nasi-nasi itu menggigit
tubuh Kendi. Kendi menjerit meminta tolong.
Buyung juga kekenyangan. Dia cuma dapat
menghabiskan seekor ayam sahaja. Sembilan ekor ayam lagi terbiar di tempat
pemanggang. Oleh kerana terlalu banyak makan, tekaknya berasa loya. Melihat
baki ayam-ayam panggang itu, dia berasa muak dan hendak muntah. Buyung segera
mencampakkan ayam-ayam itu ke dalam semak.
“Kenapa kamu tidak habiskan kami?”
tiba-tiba tanya ayam-ayam panggang itu.
“Aku sudah kenyang,” kata Buyung. “Makan
sekor pun perut aku sudah muak,” katanya lagi.
Tiba-tiba muncul sembilan ekor ayam
jantan dari celah-celah semak di kawasan itu. Mereka meluru ke arah Buyung.
Ayam-ayam itu mematuk dan menggeletek
tubuh Buyung. Buyung melompat-lompat sambil meminta tolong.
Awang bagaikan bermimpi melihat gelagat
rakan-rakannya. Kendi terpekik dan terlolong. Buyung pula melompat-lompat dan
berguling-guling di atas tanah. Awang tidak dapat berbuat apa-apa. Dia seperti
terpukau melihat kejadian itu.
Akhirnya Kendi dan Buyung mati.
Tinggallah Awang seorang diri. Dia meneruskan semula perjalanannya.
Sebelum berangkat, Awang mengambil
pinggan nasi yang telah bersih. Sebutir nasi pun tidak berbaki di dalam pinggan
itu.
“Pinggan ini akan mengingatkan aku
supaya jangan sombong dan tamak. Makan biarlah berpada-pada dan tidak
membazir,” kata Awang lalu beredar meninggalkan tempat itu.
***
13.
HIKAYAT PANJI SEMIRANG
Alkisah pada zaman dahulu hiduplah seorang
raja di Tanah Jawa yang merupakan empat bersaudara. Yang tua menjadi raja di
Kuripan, yang muda menjadi raja di Daha, yang tengah menjadi raja di Gegelang,
dan yang bungsu menjadi rajadi Singasari. Empat orang bersaudara itu sangat
menyayangi satu sama lain. Negeri tempat mereka tinggal sangat ramai dan
termasyur. Banyak pedagang asing yang masuk untuk berniaga di dalam negeri itu.
Bermula dari seseorang yang bernama Nata
Kuripan dengan selirnya yang bernama Paduka Mahadewi. Mereka memiliki anak
laki-laki yang sangat tampan rupanya. Dari wajahnya sudah terlihat jejak-jejak
keagungan dari ayahnya. Maka, diberinyalah inang pengasuh serta tanah di Karang
Banjar Ketapang. Orang-orang menyebut anak tersebut dengan sebutan Raden Banjar
Ketapang.
Permaisuri Kuripan yang mengetahui itu, juga
ingin mempunyai anak laki-laki yang baik parasnya. Ia pun mendiskusikannya
dengan suaminya. Setelah beberapa lama, mereka memutuskan untuk menyembah
segala dewa-dewa selama 40 hari 40 malam agar keinginannya dikabulkan.
14. HIKAYAT MALIM DEMAN”
Malim deman adalah putra raja dari bandan muar
yang sangat bijaksana, lagi sangat elok rupanya. Setelah besar, malim deman
bermimpi seorang wali Allah menyuruhnya pergi kerumah nenek kebayan untuk
mendapatkan puteri bungsu dari kayangan sebagai istrinya. Dengan pengiring yang
banyak, pergilah malim Deman ke rumah nenek kebayan. Dengan bantuan nenek
kebayan juga, ia berhasil mencuri baju layang putri bungsu,
sehingga puteri Bungsu tidak dapat kembali ke kayangan. Nenek kebayan lalu
mengawinkan mereka.
Maka berapa lama, mereka pun kembali ke
Bandar Muar. Jamuan makanan besar-besaran lalu di adakan. Malim Deman juga
ditabalkan menjadi raja. Tidak lama kemudian Malin Deman gering, lalu mangkat.
Sejak kematian ayahhanda, Malim Deman lali memerintah negeri. Setiap hari ia
asyik menyambung ayam saja. Dalam keadaan yang demikian, Puteri Bungsu pun
melahirkan seorang anak yang diberi nama Malim Dewana. Akhirnya Malim Dewana
besarlah, tetapi Malim Deman tetap tidak mau kembali ke istana melihat
puteranya. Putri Bungsu sangat masyghul hatinya. Kebetulan pula ia menemukan
kembali baju layangnya. Maka ia pun terbang kembali kekayangan dengan anaknya
Malim Dewana.
Sepeninggal Puteri Bungsu, barulah Malim
Deman menyesal. Tujuh hari tujuh malam ia tidak beradu, tidak
santap, leka dengan menangis saja. Akhirnya ia berazam pergi mendapatkan istri
dan anaknya kembali. Dengan susah payah, sampailah ia ke rumah nenek kebayan
dan bertanya dimana diperoleh burung borak yang dapat membawanya
kekayangan. Dengan bantuan nenek kebayan, tahulah ia bahwa Puteri Terus Mata
ada menyimpan burung borak. Raja jin bersedia meminjamkan burung borak kepada
Malim Deman dengan syarat bahwa Malim Deman harus kawin dengan anaknya yaitu
Puteri Terus Mata. Malim Deman menyanggupi hal ini.
Sesampainya di kayangan didapatinya Puteri
Bungsu akan dikawinkan dengan Mambang Molek. Malim Deman mengalahkan Mambang
Molek dalam menyambung ayam. Maka timbullah pertikaman antara keduanya. Mambang
Molek terbunuh. Sekali lagi Malim Deman sekeluarga pun turun kembali ke dunia
semula. Perkawinan dengan Puteri Terus Mata lalu diadakan.
Hatta Malim Deman pun menjadi seorang raja
yang sangat bijaksana lagi gagah berani. Dan baginda katiga laki istri juga
sangat sayang kepada Puteranya
Pada
zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal
takut kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu,
menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qur’an pagi dan
petang. Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak
encer. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu.
Suatu
hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan
nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang
senantiasa berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar
menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba
menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang (kemudian datang menyusulnya)
membawa tongkat.
“Kek,”
panggil ular itu benar-benar memelas, “kakek kan terkenal suka menolong.
Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang
sedang mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap
saya. Tentunya, kamu baik sekali jika mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya
dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon,
kabulkanlah permintaan saya ini.”
“Ulangi
sumpahmu sekali lagi,” pinta si kakek. “Takutnya, setelah mulutku kubuka, kamu
masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah
selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya.”
Ular
mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi.
Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat
untuk ular itu masuk.
Sejurus
kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan
keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat
ular yang ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil
menemukan apa yang dicarinya, pria itu pun pergi.
Setelah
pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: “Kini, kamu aman.
Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang.”
Ular
itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: “Hmm, kamu mengira
sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan
mana orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal,
kamu tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan
benda mati.”
“Buktinya
kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia
ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan,
terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu?
Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.” Kontan ular itu mengancam.
“La
haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan
kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah
aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh?
Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong
terbaik.” Sejurus kemudian kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang
tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya berbuah penyesalan.
Kakek
itu akhirnya kembali bersuara, “Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa pada
sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku
pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa
berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku.”
Ular
mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap,
“Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini
dan menyelamatkanku.”
Setelah
sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular:
“Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah
aku seperti yang kamu inginkan.”
Tiba-tiba
ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:
“Wahai
Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam jejaknya,
ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke
dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali.
Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan.
Moga Allah sentiasa membantumu.”
Anjuran
itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular
itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya
musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar,
“Suara siapakah yang tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?”
Suara
itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan
berhati mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat
Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu.”
Kakek
bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan
dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya.”
Di
akhir ceritanya, si Saudi berpesan:
“Waspadalah
terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti dapat
mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang
jahat.”
Kemudian
si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat
tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya
kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam
menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.
Namun,
belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu nasehatnya
kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku mulai
menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan.
Aku menjadi suka menghambur-hamburkan uang.
Akibatnya,
para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu banyak.
Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku
kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal
kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup
besar sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi
perintahnya seraya menebar ancaman.
Setelah
membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu
kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk
mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya
saya mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak
sedetikpun saya lewatkan kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan
bumi ini dan menjadikan langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari
penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya.
Namun,
tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid,
Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan.
Khalifah
menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan agar
ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia
derita dan kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu
kepada Allah, satu-satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin
senantiasa bermarwah dan berbahagia, selama matahari masih terbit dan selama
burung masih berkicau.
Komentar
Posting Komentar
komentar disini ya, bosskuh