PERKEMBANGAN POLITIK MASA DEMOKRASI LIBERAL

assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh apa kabar sahabat cerdas??... kali ini saya akan menyajikan kepada sahabat cerdas sebuah tulisan yang berjudul:


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya maka saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “PERKEMBANGAN POLITIK MASA DEMOKRASI LIBERAL”.
Makalah ini berisi tentang materi tersebut, dengan bahasa yang singkat, padat, dan mudah dimengerti. Makalah ini kami lengkapi dengan pendahuluan sebagai pembuka yang menjelaskan latar belakang dan tujuan pembuatan makalah. Pembahasan yang menjelaskan Kebugaran Jasmani, Penutup yang berisi tentang kesimpulan yang menjelaskan isi dari makalah saya. Makalah ini juga kami lengkapi dengan daftar pustaka yang menjelaskan sumber dan referensi bahan dalam penyusunan.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini akan saya terima, Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak baik yang menyusun maupun yang membaca.

                                               

                                               
                                                                                                                                                                                                                                                            Penulis





















DAFTAR ISI


Kata pengantar....................................................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN,

A.    Latar Belakang.............................................................................................................. 1
B.     Tujuan.......................................................................................................................... 1
C.    Rumusan Masalah.......................................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Politik Masa Demokrasi Liberal........................................................ 2
1. Sistem Pemerintahan.............................................................................. 2
2. Sistem Kepartaian.................................................................................. 5
3. Pemilihan Umum 1955............................................................................ 6

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan.................................................................................................................... 9
B.    DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 9




BAB I
PENDAHULUAN
Sistem dan Struktur Politik dan Ekonomi Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)

Ketika pemerintahan Republik Indonesia Serikat dibubarkan pada Agustus 1950, RI kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan bentuk pemerintahan diikuti pula perubahan undang-undang dasarnya dari Konstitusi RIS ke UUD Sementara 1950. Perubahan ke UUD sementara ini membawa Indonesia memasuki masa Demokrasi Liberal. Masa Demokrasi Liberal di Indonesia memiliki ciri banyaknya partai politik yang saling berebut pengaruh untuk memegang tampuk kekuasaan. Hal tersebut membawa dampak terganggunya stabilitas nasional di berbagai bidang kehidupan.
Perlu kalian ketahui bahwa sistem multi partai di Indonesia diawali dengan maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945, setelah mempertimbangkan usulan dari Badan Pekerja. Pemerintah pada awal pendirian partai-partai politik menyatakan bahwa pembentukan partai-partai politik dan organisasi politik bertujuan untuk memperkuat perjuangan revolusi, hal ini seperti yang disebutkan dalam maklumat pemerintah yang garis besarnya dinyatakan
bahwa:                                                       
1. Untuk menjunjung tinggi asas demokrasi tidak dapat didirikan hanya
satu partai.
2. Dianjurkan pembentukan partai-partai politik untuk mudah dapat
mengukur kekuatan perjuangan kita.
3. Dengan adanya partai politik dan organisasi politik, bagi pemerintah
mudah untuk minta tanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin barisan
perjuangan. (Wilopo, 1978).







BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Politik Masa Demokrasi Liberal
1. Sistem Pemerintahan
Hasil gambar untuk PRESIDEN RI SEMUA
          Bangsa kita sebenarnya adalah bangsa pembelajar. Indonesia sampai dengan tahun 1950an telah menjalankan dua sistem pemerintahan yang berbeda, yaitu sistem presidensial dan sistem parlementer. Tidak sampai satu tahun setelah kemerdekaan, sistem pemerintahan presidensial digantikan dengan system pemerintahan parlementer. Hal ini ditandai dengan pembentukan cabinet parlementer pertama pada November 1945 dengan Syahrir sebagai perdana menteri. Sejak saat itulah jatuh bangun kabinet pemerintahan di Indonesia terjadi. Namun pelaksanaan sistem parlementer ini tidak diikuti dengan perubahan UUD. Baru pada masa Republik Indonesia Serikat pelaksanaan sistem parlementer dilandasi oleh Konstitusi, yaitu Konstitusi RIS. Begitu juga pada masa Demokrasi Liberal, pelaksanaan sistem parlementer dilandasi oleh UUD Sementara 1950 atau dikenal dengan Konstitusi Liberal. Ketika Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, UUD yang digunakan sebagai landasan hukum Republik Indonesia bukan kembali UUD 1945, sebagaimana yang ditetapkan oleh PPKI pada awal kemerdekaan, namun menggunakan UUD Sementara 1950. Sistem pemerintahan negara menurut UUD Sementara 1950 adalah system parlementer. Artinya Kabinet disusun menurut perimbangan kekuatan kepartaian dalam parlemen dan sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh wakil-wakil partai dalam parlemen. Presiden hanya merupakan lambang kesatuan saja. Hal ini dinamakan pula Demokrasi Liberal, sehingga era ini dikenal sebagai zaman Demokrasi Liberal. Sistem kabinet masa ini berbeda dengan sistem kabinet RIS yang dikenal sebagai Zaken Kabinet.

            Salah satu ciri yang nampak dalam masa ini adalah kerap kali terjadi penggantian kabinet. Mengapa sering kali terjadi pergantian kabinet? Hal ini terutama disebabkan adanya perbedaan kepentingan diantara partaipartai yang ada. Perbedaan diantara partai-partai tersebut tidak pernah dapat terselesaikan dengan baik sehingga dari tahun 1950 sampai tahun 1959 terjadi silih berganti kabinet mulai Kabinet Natsir (Masyumi) 1950-1951; Kabinet Sukiman (Masyumi) 1951-1952; Kabinet Wilopo (PNI) 1952-1953; Kabinet Ali Sastroamijoyo I (PNI) 1953-1955; Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) 1955-1956; Kabinet Ali Sastroamijoyo II (PNI) 1956-1957 dan Kabinet Djuanda (Zaken Kabinet) 1957 1959.

Kalau kita perhatikan garis besar perjalanan kabinet di atas, nampak bahwa mula-mula Masyumi diberi kesempatan untuk memerintah, kemudian PNI memegang peranan terutama setelah Pemilihan Umum 1955. Namun PNI pun tidak bias bertahan lama karena tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi yang akhirnya dibentuk zaken kabinet di bawah pimpinan Ir. Djuanda.


Kabinet-kabinet tersebut pada umumnya memiliki program yang tujuannya sama, yaitu masalah keamanan, kemakmuran dan masalah Irian Barat (saat ini Papua Barat). Namun setiap kabinet memiliki penekanan masing-masing, kabinet yang dipimpin Masyumi menekankan pentingnya penyempurnaan pimpinan TNI, sedangkan kabinet yang dipimpin oleh PNI sering menekankan pada masalah hubungan luar negeri yang menguntungkan perjuangan pembebasan Irian Barat dan pemerintahan dalam negeri.

Apabila kita teliti kabinet-kabinet tersebut satu persatu maka akan nampak halhal yang menarik. Kabinet Natsir (1950-1951), ketika menyusun kabinetnya, Natsir bermaksud menyusun kabinet dengan melibatkan sebanyak mungkin partai agar kabinetnya mencerminkan sifat nasional dan mendapat dukungan parlemen yang besar. Namun pada kenyataannya, Natsir kesulitan membentuk kabinet seperti yang diinginkan, terutama kesulitan dalam menempatkan orang-orang PNI dalam kabinet. Sehingga Kabinet Natsir yang terbentuk pada 6 September 1950, tidak melibatkan PNI di dalamnya. PNI menjadi oposisi bersama PKI dan Murba.

Latar belakang masalah dalam pembentukan kabinet sering kali menjadi faktor yang menyebabkan goyah dan jatuhnya kabinet. Hal ini terlihat ketika Kabient Natsir menjalankan pemerintahannya, kelompok oposisi segera melancarkan kritik terhadap jalannya pemerintahan Natsir. Kabinet Natsir dihadapkan pada mosi Hadikusumo dari PNI yang menuntut agar pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah No 39 tahun 1950 tentang pemilihan anggota lembaga perwakilan daerah. Lembaga-lembaga perwakilan daerah yang sudah dibentuk atas dasar Peraturan Pemerintah no 39 tahun 1950 oleh Kabinet Hatta, supaya diganti dengan undang-undang yang baru yang bersifat demokratis karena dalam PP no 39 dalam menentukan pemilihannya dilakukan secara bertingkat. Berdasarkan pemungutan suara di parlemen, mosi Hadikusumo mendapat dukungan dari parlemen. Hal ini menyebabkan menteri dalam negeri mengundurkan diri. Kondisi ini menyebabkan hubungan kabinet dengan parlemen tidak lancar yang akhirnya menyebabkan Natsir menyerahkan mandatnya kepada Soekarno pada 21 Maret 1951.

Jatuhnya Kabinet Natsir, membuat Presiden Soekarno mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin partai untuk memilih tim formatur kabinet yang kemudian menghasilkan Kabinet Sukiman pada tanggal 26 April 1951. Berbeda dengan kabinet sebelumnya yang tidak melibatkan PNI dalam pemerintahannya, kabinet Sukiman berhasil melibatkan PNI di dalamnya, sehingga Kabinet Sukiman didukung oleh dua partai besar, Masyumi dan PNI. Partai-partai pendukung Kabinet Sukiman, melalui menteri-menterinya yang duduk dalam pemerintahan, berusaha merealisasi program politik masing-masing, meskipun kabinet telah memiliki program kerja tersendiri. Hal ini merupakan benih-benih keretakan yang melemahkan kabinet. Sebagai contoh adalah Menteri Dalam Negeri Mr. Iskaq (PNI) yang menginstruksikan untuk menonaktifkan DPRD-DPRD yang terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 39/ 1950. Selain itu, Iskak juga mengangkat orang-orang PNI menjadi Gubernur Jawa Barat dan Sulawesi. Tindakan ini yang menimbulkan pertikaian politik dan konflik kepentingan.
Kebijakan lain yang menimbulkan masalah dalam hubungan antara pemerintah dan parlemen adalah ketika Menteri Kehakiman, Muhammad Yamin, membebaskan 950 orang tahanan SOB (Staat Van Oorlog en Beleg, negara dalam keadaan bahaya perang) tanpa persetujuan Perdana Menteri dan anggota kabinet lainnya. Kebijakan ini ditentang oleh Perdana Menteri Sukiman dan kalangan militer yang mengakibatkan Muhammad Yamin meletakkan jabatannya sebagai menteri kehakiman.

Kondisi Kabinet Sukiman semakin terguncang ketika muncul mosi tidak percaya dari Sunarjo (PNI). Munculnya mosi ini berkaitan dengan penandatanganan perjanjian Mutual Security Act (MSA) antara Menteri Luar Negeri Achmad Subardjo dan Merle Cochran, Duta Besar Amerika Serikat. Hal ini berawal dari Nota Jawaban yang diberikan Subardjo terhadap Cochran yang berisi pernyataan bahwa Indonesia bersedia menerima bantuan dari Amerika Serikat berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan dalam MSA. Nota Menteri Luar Negeri ini memiliki kekuatan seperti suatu perjanjian internasional. Tindakan Subardjo ini dianggap sebagai suatu langkah kebijaksanaan politik luar negeri yang dapat memasukkan Indonesia ke dalam lingkungan strategi Amerika Serikat, sehingga menyimpang dari asas politik luar negeri bebas aktif. Mosi ini kemudian disusul oleh pernyataan PNI agar kabinet mengembalikan mandatnya kepada presiden untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Akhirnya, dengan didahului pengunduran diri Achmad Subardjo selaku Menteri Luar Negeri, Sukiman pun kemudian menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 23 Februari 1952.

Kalau dibandingkan dengan Kabinet Natsir, dalam Kabinet Sukiman jelas menunjukkan bahwa partai-partailah yang memegang pemerintahan. Mulai dari menyusun program, portopolio, komposisi personalia, pelaksanaan dan tanggung jawab serta cara penyelesaian masalah sepenuhnya terletak ditangan partai. Partai-partai yang ada pada waktu itu belum nampak menonjolkan ideologi masing-masing, perhatiannya masih ditujukan pada pemecahan masalah-masalah praktis yang dihadapi.

Kemudian Presiden Soekarno memberikan mandat kepada golongan moderat dari PNI sehingga terbentuk kabinet Wilopo pada 30 Maret 1952. Kabinet ini mendapat dukungan yang lebih luas dibandingkan dengan kabinet sebelumnya, yaitu dengan masuknya PSI dan PSII dalam pemerintahan. Dukungan ini memperkuat upaya kabinet dalam memperoleh dukungan mayoritas di Parlemen. Kondisi ini mempengaruhi iklim politik dalam kabinet dan juga hubungan antarpartai. Ikut sertanya PSII dan Parindra dalam pemerintahan, dan karena PKI, sejak Kabinet Amir Syarifuddin, selalu menjadi oposisi, mendukung Kabinet Wilopo, maka Badan Permusyawaratan Partai-partai (PKI, PSII, Perti, Partai Buruh, Partai Murba, Permai, Partai Tani Indonesia, PRN, Parindra, Partai Rakyat Indonesia dan Partai Indo Nasional) kehilangan artinya dan menghentikan kegiatan-kegiatannya. Dengan adanya hubungan politik baru ini, praktis berakhirlah aksi-aksi pemogokan yang banyak terjadi pada masa pemerintahan Kabinet Sukiman.

Kabinet ini memiliki tugas pokok menjalankan persiapan pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen dan anggota konstituante. Namun sebelum tugas ini dapat diselesaikan, kabinet ini harus meletakkan jabatannya. Faktor yang menyebabkannya antara lain peristiwa 17 Oktober 1952.





2. Sistem Kepartaian
Hasil gambar untuk PARTAI JAMAN DULU

Partai politik merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan dibentuknya partai politik adalah untuk memperoleh, merebut dan mempertahankan kekuasaan secara konstitusional. Jadi munculnya partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan.

Paska proklamasi kemerdekaan, pemerintahan RI memerlukan adanya lembaga parlemen yang berfungsi sebagai perwakilan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945. Keberadaan parlemen, dalam hal ini DPR dan MPR, tidak terlepas dari kebutuhan adanya perangkat organisasi politik, yaitu partai politik. Berkaitan dengan hal tersebut, pada 23 Agustus 1945 Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan Partai Nasional Indonesia sebagai partai tunggal, namun keinginan Presiden Soekarno tidak dapat diwujudkan. Gagasan pembentukan partai baru muncul lagi ketika pemerintah mengeluarkan maklumat pemerintah pada tanggal 3 November 1945. Melalui maklumat inilah gagasan pembentukan partai-partai politik dimunculkan kembali dan berhasil membentuk partai-partai politik baru.

Sistem kepartaian yang dianut pada masa demokrasi liberal adalah multi partai. Pembentukan partai politik ini menurut Mohammad Hatta agar memudahkan dalam mengontrol perjuangan lebih lanjut. Hatta juga menyebutkan bahwa pembentukan partai politik ini bertujuan untuk mudah dapat mengukur kekuatan perjuangan kita dan untuk mempermudah meminta tanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin barisan perjuangan. Walaupun pada kenyataannya partai-partai politik tersebut cenderung untuk memperjuangkan kepentingan golongan dari pada kepentingan nasional. Partai-partai politik yang ada saling bersaing, saling mencari kesalahan dan saling menjatuhkan. Partai-partai politik yang tidak memegang jabatan dalam kabinet dan tidak memegang peranan penting dalam parlemen sering melakukan oposisi yang kurang sehat dan berusaha menjatuhkan partai politik yang memerintah. Hal inilah yang menyebabkan pada era ini sering terjadi pergantian kabinet, kabinet tidak berumur panjang sehingga program-programnya tidak bias berjalan sebagaimana mestinya yang menyebabkan terjadinya instabilitas nasional baik di bidang politik, sosial ekonomi dan keamanan.

Kondisi inilah yang mendorong Presiden Soekarno mencari solusi untuk membangun kehidupan politik Indonesia yang akhirnya membawa Indonesia dari sistem demokrasi liberal menuju demokrasi terpimpin.



3. Pemilihan Umum 1955

Hasil gambar untuk PARTAI JAMAN DULU
Pelaksanaan pemilihan umum 1955 bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam parlemen dan dewan Konstituante. Pemilihan umum ini diikuti oleh partai-partai politik yang ada serta oleh kelompok perorangan. Pemilihan umum ini sebenarnya sudah dirancang sejak cabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953-12 Agustus 1955) dengan membentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah pada 31 Mei 1954. Namun pemilihan umum tidak dilaksanakan pada masa kabinet Ali I karena terlanjur jatuh. Kabinet pengganti Ali I yang berhasil menjalankan pemilihan umum, yaitu kabinet Burhanuddin Harahap.

Pelaksanaan Pemilihan Umum pertama dibagi dalam 16 daerah pemilihan yang meliputi 208 kabupaten, 2139 kecamatan dan 43.429 desa. Pemilihan umum 1955 dilaksanakan dalam 2 tahap. Tahap pertama untuk memilih anggota parlemen yang dilaksanakan pada 29 September 1955 dan tahap kedua untuk memilih anggota Dewan Konstituante (badan pembuat Undangundang Dasar) dilaksanakan pada 15 Desember 1955. Pada pemilu pertama ini 39 juta rakyat Indonesia memberikan suaranya di kotak-kotak suara.

Pemilihan umum 1955 merupakan tonggak demokrasi pertama di Indonesia. Keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum ini menandakan telah berjalannya demokrasi di kalangan rakyat. Rakyat telah menggunakan hak pilihnya untuk memilih wakil-wakil mereka. Banyak kalangan yang menilai bahwa pemilihan umum 1955 merupakan pemilu yang paling demokratis yang dilaksanakan di Indonesia.

Presiden Soekarno dalam pidatonya di Istana Negara dan Parlemen pada 17 Agustus 1955 menegaskan bahwa “pemilihan umum jangan diundurkan barang sehari pun, karena pada pemilihan umum itulah rakyat akan menentukan hidup kepartaian kita yang tidak sewajarnya lagi, rakyatlah yang menjadi hakim”. Penegasan ini dikeluarkan karena terdapat suara-suara yang meragukan terlaksananya pemilu sesuai dengan jadwal semula.

Dalam proses pemilihan umum 1955 terdapat 100 partai besar dan kecil yang mengajukan calon-calonnya untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 82 partai besar dan kecil untuk Dewan Konstituante. Selain itu masih ada 86 organisasi dan perseorangan akan ikut dalam pemilihan umum. Dalam pendaftaran pemilihan tidak kurang dari 60% penduduk Indonesia yang mendaftarkan namanya (kurang lebih 78 juta), angka yang cukup tinggi yang ikut dalam pesta demokrasi yang pertama. (Feith, 1999)

Pemilihan umum untuk anggota DPR dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955. Hasilnya diumumkan pada 1 Maret 1956. Urutan perolehan suara terbanyak adalah PNI, Masyumi, Nahdatul Ulama dan PKI. Empat perolehan suara terbanyak memperoleh kursi sebagai berikut :

PNI 57                        : kursi
Masyumi                    : 57 kursi
Nahdatul Ulama         : 45 kursi
PKI                             : 39 kursi

Pemilihan Umum 1955 menghasilkan susunan anggota DPR dengan jumlah anggota sebanyak 250 orang dan dilantik pada tanggal 24 Maret 1956 oleh Presiden Soekarno. Acara pelantikan ini dihadiri oleh anggota DPR yang lama dan menteri-menteri Kabinet Burhanudin Harahap. Dengan terbentuknya DPR yang baru maka berakhirlah masa tugas DPR yang lama dan penunjukkan tim formatur dilakukan berdasarkan jumlah suara terbanyak di DPR.

Pemilihan Umum 1955 selain memilih anggota DPR juga memilih anggota Dewan Konstituate. Pemilihan Umum anggota Dewan Konstituante dilaksanakan pada 15 Desember 1955. Dewan Konstituante bertugas untuk membuat Undang-undang Dasar yang tetap, untuk menggantikan UUD Sementara 1950. Hal ini sesuai dengan ketetapan yang tercantum dalam pasal 134 UUD Sementara 1950 yang berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang Dasar) bersama-sama pemerintah selekaslekasnya menetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini”.

Berdasarkan hasil pemilihan tanggal 15 Desember 1955 dan diumumkan pada 16 Juli 1956, perolehan suara partai-partai yang mengikuti pemilihan anggota Dewan Konstituante urutannya tidak jauh berbeda dengan pemilihan anggota legislatif, empat besar partainya adalah PNI, Masyumi, NU dan PKI.

PNI 119                                  : kursi
Masyumi                                : 112 kursi
Nahdatul Ulama                     : 91 kursi
PKI                                         : 80 kursi

Keanggotaaan Dewan Konstituante terdiri dari anggota hasil pemilihan umum dan yang diangkat oleh pemerintah. Pemeritah mengangkat anggota Konstituate jika ada golongan penduduk minoritas yang turut dalam pemilihan umum tidak memperoleh jumlah kursi sejumlah yang ditetapkan dalam UUD S 1950. Kelompok minoritas yang ditetapkan jumlah kursi minimal adalah golongan Cina dengan 18 kursi, golongan Eropa dengan 12 kursi dan golongan Arab 6 kursi.

Dalam sidang-sidang Dewan Konstituante yang berlangsung sejak tahun 1956 hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak menghasilkan apa yang diamanatkan oleh UUD S 1950. Dewan memang berhasil menyelesaikan bagian-bagian dari rancangan UUD, namun terkait dengan masalah dasar negara, Dewan Konstituante tidak berhasil menyelesaikan perbedaan yang mendasar diantara usulan dasar negara yang ada.

Pembahasan mengenai dasar negara mengalami banyak kesulitan karena adanya konflik ideologis antar partai. Dalam sidang Dewan Konstituante muncul tiga usulan dasar negara yang diusung oleh partai-partai; Pertama, Dasar Negara Pancasila diusung antara lain oleh PNI, PKRI, Permai, Parkindo, dan Baperki; Kedua, Dasar negara Islam diusung antara lain oleh Masyumi, NU dan PSII; Ketiga, Dasar negara Sosial Ekonomi yang diusung oleh Partai Murba dan Partai Buruh. Ketiga usulan dasar negara ini kemudian mengerucut menjadi dua usulan Pancasila dan Islam karena Sosial ekonomi tidak memperoleh dukungan suara yang mencukupi, hanya sembilan suara.

Dalam upaya untuk menyelesaikan perbedaan pendapat terkait dengan masalah dasar negara, kelompok Islam mengusulkan kepada pendukung Pancasila tentang kemungkinan dimasukannya nilai-nilai Islam ke dalam Pancasila, yaitu dimasukkannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai pembukaan undang-undang dasar yang baru. Namun usulan ini ditolak oleh pendukung Pancasila. Semua upaya untuk mencapai kesepakatan diantara dua kelompok menjadi kandas dan hubungan kedua kelompok ini semakin tegang. Kondisi ini membuat Dewan Konstituante tidak berhasil menyelesaikan pekerjaannya hingga pertengahan 1958. Kondisi ini mendorong Presiden Soekarno dalam amanatnya di depan sidang Dewan Konstituante mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945. Konstituante harus menerima UUD 1945 apa adanya, baik pembukaan maupun batang tubuhnya tanpa perubahan.

Menyikapi usulan Presiden, Dewan Konstituante mengadakan musyawarah dalam bentuk pemandangan umum. Dalam sidang-sidang pemandangan umum ini Dewan Konstituante pun tidak berhasil mencapai kuorum, yaitu dua pertiga suara dari jumlah anggota yang hadir. Tiga kali diadakan pemungutan  suara tiga kali tidak mencapai kourum, sehingga ketua sidang menetapkan tidak akan mengadakan pemungutan suara lagi dan disusul dengan masa reses (masa tidak bersidang). Ketika memasuki masa sidang berikutnya beberapa fraksi tidak akan menghadiri sidang lagi. Kondisi inilah mendorong suasana politik dan psikologis masyarakat menjadi sangat genting dan peka. Kondisi ini mendorong KSAD, Jenderal Nasution, selaku Penguasa Perang Pusat (Peperpu) dengan persetujuan dari Menteri Pertahanan sekaligus Perdana Menteri Ir. Djuanda, melarang sementara semua kegiatan politik dan menunda semua siding Dewan Konstituante.

Presiden Soekarno mencoba mencari jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan mengadakan pembicaraan dengan tokoh-tokoh pemerintahan, anggota Dewan Nasional, Mahkamah Agung dan pimpinan Angkatan Perang di Istana Bogor pada 4 Juli 1959. Hasil dari pembicaraan itu esok harinya, Minggu 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menetapkan Dekrit Presiden 1959 di Istana Merdeka. Isi pokok dari Dekrit Presiden tersebut adalah membubarkan Dewan Konstituante, menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 dan menyatakan tidak berlakunya UUD Sementara 1950. Dekrit juga menyebutkan akan dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu sesingkat-singkatnya.




BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Bangsa Indonesia sebenarnya adalah bangsa pembelajar. Indonesia sampai dengan tahun 1950an telah menjalankan dua sistem pemerintahan yang berbeda, yaitu sistem presidensial dan sistem parlementer.
Paska proklamasi kemerdekaan, pemerintahan RI memerlukan adanya lembaga parlemen yang berfungsi sebagai perwakilan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945. Keberadaan parlemen, dalam hal ini DPR dan MPR, tidak terlepas dari kebutuhan adanya perangkat organisasi politik, yaitu partai politik.
Pelaksanaan pemilihan umum 1955 bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam parlemen dan dewan Konstituante.

B. DAFTAR PUSTAKA
a. adji-pras.blogspot.com
b. kampoengue.blogspot.com
c. bse.kemdikbud.go.id

 

Komentar